KENDARI-Sultrainfo.id.

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Tenggara menggelar Workshop Penguatan Pemahaman Agama bagi Keluarga Prasejahtera bagi Santriwan/Santriwati melalui Moderasi Beragama. Kegiatan ini ikuti 100 santriwan dan santriwati Pondok Pesantren Darul Mukhlisin Kendari, turut hadir Kepala Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam, Sitti Mardawiyah Kasim, Wakil Ketua MUI Sultra, KH. Djakri Nappu dan Rais Syuriah PWNU Sultra, KH. Ryha Madi, dan Ketua Yayasan Ponpes Darul Mukhlisin, Djamaluddin. 

Kakanwil  Kemenag Sultra, H. Zainal Mustamin dalam sambutannya memaparkan, penguatan pemahaman agama bagi santri/santriwati di Pondok Pesantren penting karena makna Islam itu sendiri memiliki makna kedamaian, jadi puncak keberagamaan adalah kedamaian. Orang islam itu mendamaikan, negeri yang darussalam. 

“Maka untuk mewujudkan hidup yang damai setiap muslim harus memiliki pemahaman keagamaan yang baik dan moderat. Karenanya, kegiatan ini dikemas dalam kegiatan penguatan pemahaman melalui moderasi beragama, sebagai salah satu program yang dicanangkan Kementerian Agama agar setiap umat beragama termasuk umat Islam memiliki pandangan, sikap dan prilaku yang moderat,” terangnya.

Kakanwil menambahkan, pemahaman keagaman ini memiliki dua kutub ada yang inklusif (terbuka) dan eksklusif (tertutup). Belajar agama dengan segala kebenaran harus dilakukan terbuka atau inklusif, yang menerima kenyataan bahwa kita hidup ditengah masyarakat beragam, bisa menghargai orang lain, memberikan keselamatan dan kedamaian yang mengajarkan nilai wasatiyah. Karena, kalau pemahaman agama itu eksklusif, ekstrim maka manusia akan kontraproduktif dalam hubungan kemanusiaan di tengah masyarakat. 

Lebih lanjut Kakanwil menjelaskan, jika orang bisa melakukan pengorbanan yang luar biasa setidaknya dipengaruhi tiga hal.

Pertama, karena cinta orang dapat melakukan apa saja, orang bisa melakukan hal-hal positif namun yang berbahaya jika melakukan hal negatif. 

Kedua karena negara, nasionalisme karena para pahlawan pendahulu  kita demi kemerdekaan rela melakukan apapun demi negara disebut nasionalisme, hubbulwatan. 

Ketiga  atas nama Tuhan bisa melakukan hal-hal yang berlebihan, karena salah didalam memahami agama dengan alasan membela tuhan tapi dengan cara mengorbankan makhluk tuhan,  tentu itu bertentangan. 

“Jadi kita harus memiliki pemahaman keagamaan yang moderat,  tidak ekstrim tapi tidak juga liberal, jalan tengah antara ekstrim dan bebas. Kita mengambil jalan keagamaan ditengah. Semoga workshop ini bisa memperkuat pemahaman agama kita yang wasatiyah,” pungkasnya. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *