Konawe-Sultrainfo.id

Kondisi jembatan kayu di Desa Lamokuni, Kecamatan Wonggeduku Barat, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, kini menjadi sorotan tajam publik. Jembatan yang menjadi satu-satunya akses vital penghubung antara pemukiman warga, lahan pertanian, dan jalur menuju pusat kecamatan itu mengalami kerusakan berat. Sejumlah kayu lapuk, papan patah, dan tiang penyangga yang mulai bergeser menjadi ancaman nyata bagi keselamatan masyarakat.
Tak hanya mengganggu mobilitas warga, kondisi tersebut juga menimbulkan dampak sosial-ekonomi yang signifikan. Aktivitas pertanian terhambat, distribusi hasil panen terganggu, bahkan anak-anak sekolah terpaksa menyeberangi jembatan dengan rasa was-was setiap hari.

Bupati LSM LIRA Konawe, Sumantri, S.T., menilai lemahnya respons pemerintah daerah terhadap persoalan ini menunjukkan kurangnya komitmen dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
“Jembatan ini bukan hanya soal infrastruktur, tapi soal keselamatan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Pemerintah daerah seharusnya menjadikan hal ini prioritas, bukan menunggu viral dulu di media sosial baru bergerak,” tegas Sumantri.
Ia juga mengingatkan agar Bupati Konawe Yusran Akbar, S.T. dan Wakil Bupati Konawe tidak hanya fokus pada isu-isu yang bersifat seremonial, tetapi turun langsung meninjau dan memastikan solusi nyata di lapangan.
“Kami mendesak agar jembatan penghubung antara Desa Lamokuni dan Desa Nario Indah segera diprioritaskan. Jangan biarkan perhatian publik hanya dipicu oleh sorotan media. Pemerintah harus bekerja karena tanggung jawab moral, bukan karena tekanan opini,” tambahnya.
Tokoh muda setempat, M. Salsabil Ridwan, S.T., menilai kerusakan jembatan Lamokuni merupakan cerminan ketimpangan pembangunan antara pusat dan desa.“Kami sudah lama menyuarakan kondisi ini, tapi nyaris tak ada tindakan. Seolah kalau tidak viral, pemerintah tidak peduli. Paradigma ini sangat berbahaya bagi keadilan pembangunan,” ungkapnya dengan nada tegas.
Sementara itu, warga Desa Lamokuni, Imelda, menyoroti lemahnya kepekaan pemerintah terhadap kebutuhan dasar masyarakat.“Kepedulian itu seharusnya lahir dari kesadaran, bukan tekanan publik. Kami hanya ingin pemerintah benar-benar hadir. Jembatan ini urat nadi kehidupan kami dari ekonomi, pendidikan, sampai interaksi sosial,” ujar Imelda penuh harap.
Kasus jembatan Lamokuni menggambarkan masalah struktural dalam tata kelola infrastruktur di tingkat daerah. Proyek-proyek besar sering mendapat prioritas anggaran, sementara fasilitas vital di desa justru diabaikan hingga menunggu rusak parah.
Kondisi ini menandakan kurangnya mekanisme audit dan monitoring berkala terhadap aset infrastruktur publik, terutama di wilayah pelosok. Jika tidak segera diperbaiki, bukan hanya jembatan yang runtuh, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Selain itu, ketergantungan pemerintah terhadap “viralitas isu” di media sosial menunjukkan lemahnya sistem deteksi dini dan respon cepat bencana infrastruktur. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menghambat pembangunan berkelanjutan dan memperlebar jurang ketimpangan antara kota dan desa.
Kini, masyarakat Desa Lamokuni menunggu bukti nyata, bukan sekadar janji. Mereka berharap pemerintah daerah segera melakukan langkah konkret sebelum jembatan yang rusak itu benar-benar memakan korban.“Kami hanya ingin rasa aman ketika melintas. Pemerintah tidak perlu menunggu tragedi baru bergerak,” pungkas Sumantri